Kesehatan

Tuberkulosis (TB)

Ditulis oleh Admin
4 Des 2024 00:22
Thumbnail Tuberkulosis (TB)
Sumber:

A.      Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit diakibatkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) yang merupakan Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis umumnya menyerang paru-paru namun dapat menyerang bagian tubuh yang lain, seperti kelenjar, otak, dan tulang. Tuberkulosis termasuk satu dari 10 penyakit penyebab kematian tertinggi di negara dengan pendapatan menengah dan rendah. Pada tahun 2020, diperkirakan terdapat 9,9 juta orang di dunia yang terinfeksi TB dengan angka kematian sebesar 1,3 juta jiwa atau 13,13%. Sementara itu, di Indonesia angka kejadian TB adalah sebesar 824.000 kasus, atau sebanyak 8,3% dari total kasus di dunia dengan angka kematian 93.000 jiwa atau 11,29%. Angka tersebut membawa Indonesia menjadi posisi ketiga negara dengan prevalensi TB tertinggi di dunia setelah India dan Cina 1.

 

B.      Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Bakteri M. tuberculosis diransmisikan melalui udara dan masuk ke tubuh secara inhalasi. Respon tubuh atas paparan dipengaruhi oleh faktor imunitas, genetik, dan paparan primer atau sekunder. Ketika berhasil masuk ke alveoli, sel yang pertama merespon bakteri M. tuberculosis adalah makrofag alveolar. Ketika makrofag tidak berhasil melakukan fagositosis, terjadi respon sel imun yang meningkatkan produksi senyawa yang bersifat chemoattractants (menyebabkan perpindahan senyawa atau sel berdasarkan perbedaan gradien konsentrasi) yaitu kemokin. Kemokin yang menarik beberapa sel dan mediator pro-inflamasi yaitu neutrofil, sel NK (natural killer), TNF-α, IL-8, IL-6, IL-4, IFN-γ, yang selanjutnya menimbulkan respon inflamasi dan remodeling jaringan sehingga terbentuk granuloma 2. Apabila sel imun cukup adekuat, maka kuman akan mati. Namun, apabila sel imun lemah maka sebagian bakteri hidup dalam granuloma sebagai infeksi tuberkulosis laten 3. Granuloma adalah jaringan yang mengalami nekrosis yang dikelilingi oleh sel-sel imun dan berbentuk bergerombol, sebagai ciri khas dari infeksi tuberkulosis. Pembentukan granuloma pada tuberkulosis merupakan contoh reaksi hipersensitivitas tipe IV, dimana terjadi reaksi lambat yang dimediasi oleh sel imun 4,5.



 

Gambar 1 Granuloma 4

 

Pada kebanyakan individu, paparan pertama hanya menimbulkan infeksi bakteri laten dan tidak menimbulkan gejala yang berarti. Namun infeksi laten dapat aktif kembali ketika sistem imun tubuh melemah. Pada individu tertentu, misalnya anak-anak, individu dengan status gizi buruk, kondisi imnokompromais, atau imunosupresi, paparan pertama lebih berisiko menimbulkan infeksi yang progresif 5. Gejala yang umum terjadi pada pasien TB paru meliputi batuk selama setidaknya 2 minggu, produksi sputum, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, demam, berkeringat pada malam hari, dan haemoptisis (batuk berdarah) 6.

Infeksi tuberkulosis dapat menyebar secara sistemik melalui pembuluh darah atau disebut dengan tuberkulosis diseminata atau tuberkulosis milier yang menyerang organ esktraparu, seperti sistem saraf pusat, tulang, kelenjar limpa, ginjal, dan liver 7.

 

C.      Tuberkulosis Resistan Obat (TB RO)

Ancaman TB semakin serius dengan adanya strain M. tuberculosis yang kebal atau resistan terhadap obat. Resistansi obat pada tuberkulosis dapat dikategorikan menjadi 8:

a)      Monoresistan: resistansi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.

b)      Poliresistan: resistansi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan

c)      Tuberkulosis Resistan Rifampisin (TB RR), terbukti resistan terhadap rifampisin dengan atau tanpa resistansi OAT lain yang terdeteksi

d)      Tuberkulosis Resistan Obat Ganda (TB ROG) atau Multi-drug resistant tuberculosis (MDR TB), yaitu bakteri kebal terhadap rifampisin dan isoniazid, yang merupakan obat lini pertama paling efektif terhadap infeksi TB.

e)      Pre-extensively Drug Resistant Tuberculosis (Pre-XDR TB), yaitu bakteri kebal terhadap rifampisin dan isoniazid, dan salah satu obat antituberkulosis golongan fluoroquinolon

f)       Extensively Drug Resistant Tuberculosis (XDR TB), yaitu bakteri kebal terhadap rifampisin dan isoniazid, salah satu obat antituberkulosis golongan fluoroquinolone, dan satu dari tiga obat antituberkulosis injeksi (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).

Resistansi bakteri terhadap obat diakibatkan oleh mutasi genetik. Beberapa gen berperan dalam resistansi obat antituberkulosis. Gen yang berperan dalam resistansi Isoniazid adalah inh A dan kat G. Sedangkan dalam mutasi rifampisin, gen yang berperan adalah rpo B. Gen rrs, rpsL, dan gydB menyebabkan bacillus resistan terhadap streptomisin. Sedangkan resistansi pada kanamisin dan amikasin gen yang berperan adalah rrs dan eis. Kemudian rrs dan tylA berperan dalam resistansi kapreomisin, PncA pada resistansi pirazinamid, dan igyrA berpertan dalam resistansi fluoroquinolone 9. Kasus TB ROG pertama kali dilaporkan pada tahun 1990. Hingga saat ini TB ROG masih menjadi perhatian besar bagi kesehatan dunia 10.


D.     Farmakoterapi

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terbagi atas obat lini pertama dan lini kedua. Obat lini pertama merupakan pilihan utama obat TB yang umumnya digunakan pada pasien TB sensitif obat. Sedangkan, pada pasien dengan resistan obat, regimen tidak hanya terdiri terdiri atas OAT lini pertama namun juga disertai dengan OAT lini kedua 11.  Kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan TB sangat penting untuk mencegah penularan penyakit, mencapai kesembuhan dan menghindari perparahan resistansi obat, kekambuhan, dan kematian. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan TB adalah hambatan besar yang signifikan dalam pengendalian TB secara global dan merupakan faktor utama yang menyebabkan kegagalan pengobatan 12.

a)      Tuberkulosis sensitif obat

Regimen yang direkomendasikan pada terapi TB sensitif obat adalah 2HRZE/4HR, yaitu terdiri dari11:

-          2 bulan fase intensif, bertujuan untuk membunuh sebagian besar bakteri aktif. Fase ini berperan penting dalam keberhasilan terapi serta pencegahan resistansi. Obat-obat fase intensif terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol yang digunakan setiap hari.

-          4 bulan fase lanjutan, bertujuan untuk mencegah aktivasi bakteri yang belum terbunuh pada fase intensif sehingga mencegah kambuhan. Obat-obat fase lanjutan terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang digunakan setiap hari. Penggunaan obat tiga kali seminggu (regimen regimen R3H3) sudah tidak direkomendasikan oleh WHO, namun jika diterapkan harus disertai pengawasan ketat.

Di akhir fase intensif, bila hasil tes sputum masih positif pengobatan sementara tetap dilanjutkan ke fase lanjutan dan dilakukan Tes Cepat Molekular (TCM), biakan, dan uji kepekaan untuk mengetahui adanya resistansi obat, sementara fase sisipan tidak lagi direkomendasikan. Bila hasil positif pada akhir bulan kelima dan akhir pengobatan, maka pengobatan dinyatakan gagal.

Berikut adalah rekomendasi dosis OAT lini pertama untuk dewasa menurut PNPK Tata Laksana Tuberkulosis 2020 13:

Tabel  1 Dosis OAT lini pertama

Obat

Dosis harian

Dosis tiga kali seminggu

Dosis (mg/kgBB)

Maks (mg)

Dosis (mg/kgBB)

Maks (mg)

Isoniazid

5 (4-6)

300

10 (8-12)

900

Rifampisin

10 (8-12)

600

10 (8-12)

600

Pirazinamid

25 (20-30)

 

35 (30-40)

 

Etambutol

15 (15-20)

 

30 (25-35)

 

 

b)      Tuberkulosis Resistan Obat

Durasi penggunaan OAT pada kasus TB RR/ROG terbagi menjadi dua, yaitu regimen jangka pendek atau short term regimen (STR) dan regimen jangka panjang atau long term regimen (LTR) 8.

Short Term Regimen (STR) atau regimen jangka pendek

Terapi STR atau regimen pengobatan jangka pendek dijalankan selama 9-12 bulan untuk pasien TB RR dan TB ROG dengan kriteria tertentu. WHO merekomendasikan penggunaan regimen berbasis bedaquilin sementara regimen jangka pendek dengan obat injeksi (kanamisin) sudah tidak lagi direkomendasikan karena alasan potensi efek samping, diantaranya ototoksisitas, serta alasan kenyamanan bagi pasien. Obat yang digunakan dalam STR tercantum dalam tabel berikut 8:

Tabel  2 Regimen antituberkulosis terapi jangka pendek 8

Fase

Obat yang Digunakan

Fase Intensif (4-6 bulan)*

6 bulan Bedaquilin (Bdq)

Moksifloksasin (Mfx)/ Levofloxacin (Lfx)

Klofazimin (Cfz)

Etionamid (Eto)

Pirazinamid (Z)

Etambutol (E)

Isoniazid dosis tinggi (Hh)

Fase Lanjutan (5 bulan)

Moksifloksasin (Mfx)/ Levofloxacin (Lfx)

Klofazimin (Cfz)

Pirazinamid (Z)

Etambutol (E)

*Fase intensif dilanjutkan hingga 6 bulan jika belum terjadi konversi BTA pada bulan ke-4

 

Regimen jangka pendek dapat diterapkan pada pasien TB-RR dan TB-ROG apabila dipastikan tidak mengalami kondisi berikut 8:

·         Resistansi yang dikonfirmasikan atau diduga tidak efektif obat dalam rejimen TB-MDR yang lebih pendek (kecuali resistansi isoniazid)

·         Pajanan satu atau lebih obat lini kedua dalam rejimen TB-MDR yang lebih pendek untuk> 1 bulan (kecuali kerentanan terhadap obat-obatan lini kedua ini dikonfirmasi)

·         Intoleransi terhadap obat-obatan dalam rejimen TB-MDR yang lebih pendek atau risiko toksisitas (mis. Interaksi obat-obat)

·         Kehamilan

·         Diseminasi, meningeal atau TB sistem saraf pusat

·         Setiap penyakit luar paru pada orang dengan HIV/AIDS

·         Satu atau lebih obat dalam rejimen TB-MDR yang lebih pendek tidak tersedia

Dosis obat regimen STR berdasarkan dapat dilihat pada tabel berikut 13:

Tabel  3 Dosis OAT regimen jangka pendek'

            Nama Obat

Dosis berdasarkan kelompok berat badan

< 33 kg

33-50 kg

>50-70 kg

>70 kg

Moxifloxacin

400 mg

400 mg

400 mg

400 mg

Moxifloxacin

50 mg

100 mg

100 mg

100 mg

Etambutol

600 mg

800 mg

1000 mg

1200 mg

Pirazinamid

750 mg

1500 mg

2000 mg

2000 mg

Isoniazid

300 mg

450 mg / 600 mg

600 mg

600 mg

Etionamid

500 mg

500 mg

750 mg

1000 mg

Etionamid

500 mg

500 mg

750 mg

1000 mg

Long Term Regimen (LTR) atau Regimen Individual

Pasien TB RO yang tidak memenuhi kriteria untuk pengobatan dengan paduan jangka pendek akan mendapatkan paduan pengobatan individual. Paduan individual diberikan untuk pasien 13:

·         TB pre-XDR

·         TB XDR

·         MDR dengan intoleransi terhadap salah satu atau lebih obat lini kedua yang digunakan pada paduan jangka pendek

·         Gagal pengobatan jangka pendek

·         Kembali setelah putus berobat

·         TB MDR kambuh

Berikut adalah rekomendasi WHO untuk pengelompokkandan regimen terapi antituberkulosis jangka panjang8:

Tabel  4 Pengelompokkan obat antituberkulosis lini kedua untuk regimen terapi jangka panjang 8

Grup

Rekomendasi

Jenis Obat

A

Ketiga obat dimasukkan dalam regimen

·        Levofloksasin (Lfx) atau Moksifloksasin (Mfx)

·        Bedaquilin (Bdq)

·        Linezolid (Lzd)

B

Salah satu atau kedua obat dimasukkan dalam regimen

·        Klofazimin (Cfz)

·        Sikloserin (Cs) atau Terizidon (Trd)

C

Ditambahkan untuk melengkapi regimen apabila obat dalam golongan A dan B tidak dapat digunakan

·        Etambutol (E)

·        Delamanid (Dlm)

·        Pirazinamid (Z)

·        Imipenem-cilastatin (Ipm-Cln) or Meropenem (Mpm)

·        Amikasin (Am) atau Streptomisin (S)

·        Etionamid (Eto) or Prothionamid (Pto)

·        P-aminosalicylic acid (PAS)

 

Keterangan:

·         Kanamisin dan kapreomisin tidak termasuk dalam pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR (rekomendasi kondisional).

·         Levofloksasin atau moksifloksasin harus dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR (rekomendasi kuat, kepastian moderat dalam perkiraan efek).

·         Bedaquilin harus dimasukkan dalam rejimen TB ROG dengan LTR untuk pasien berusia 18 tahun atau lebih (rekomendasi kuat). Bedaquiline juga dapat digunakan pada pasien berusia 16-17 tahun (rekomendasi kondisional)

·         Linezolid harus dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR

·         Klofazimine dan Sikloserin atau terizidon dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR.

·         Etambutol dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR.

·         Delamanid dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG berusia 3 tahun atau lebih dengan LTR.

·         Pirazinamid dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR.

·         Imipenem-cilastatin atau meropenem dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR.

·         Amikasin dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG berusia 18 tahun atau lebih dengan LTR apabila sensitifitas telah dibuktikan dan dengan penilaian dan pemantauan risiko obat tidak diinginkan. Jika amikasin tidak tersedia, streptomisin dapat menggantikan amikasin dalam kondisi yang sama.

 

Pada pasien TB-ROG dengan LTR, total durasi pengobatan untuk sebagian besar pasien adalah 18-20 bulan. Durasi pengobatan setelah konversi kultur yang disarankan adalah 15-17 bulan. Durasi dapat dimodifikasi sesuai dengan respon pasien. Pada rejimen terapi dengan amikasin atau streptomisin, fase intensif terapi 6-7 bulan direkomendasikan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan respon pasien 8.


E.      Efek Samping Terapi Obat Anti Tuberkulosis

Pemberian Obat Anti Tuberkulosis berisiko menimbulkan efek samping karena toksisitas yang dimilikinya. Penggunaan obat secara kombinasi berisiko menimbulkan variasi efek samping. Efek samping adalah reaksi yang berbahaya atau tidak menyenangkan, yang dihasilkan dari intervensi terkait dengan penggunaan produk obat. Efek samping yang timbul pada penggunaan OAT sangat bervariasi, dimulai dari efek minor (ringan dan menengah), hingga parah (parah, mengancam jiwa, dan fatal) 14. Berikut adalah contoh efek samping beserta obat yang menimbulkannya 14–17:

Tabel  5 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

Efek Samping

Obat yang Berpotensi

Manajemen

Gangguan gastrointestinal: mual, muntah, diare

PAS, P, E, Eto,

Penggunaan antiemesis, antitukak, antidiare, pemberian PAS bersama jus buah, air kelapa.

Neuropati perifer

INH (terutama dosis tinggi), Cs, E, Eto

Penggunaan piridoksin (50 mg setiap 250 mg Eto/Cs). Bila parah, dapat digunakan amitriptilin, gabapentin

Hipotiroid: serum TSH > 10 mIU/L

Eto, PAS

Levotiroksin

Gangguan psikiatri:  depresi, kecemasan

Cs

Piridoksin 50 mg setiap 250 mg Cs, disertai konsultasi psikiater dan psikolog

Hipokalemia: K < 3.0 mmol/L

Cm, K, S

Suplemen Kalium, perawatan di RS apabila terjadi gejala

Gangguan ginjal: CrCl < 60 ml/menit

K, Cm, S (obat injeksi golongan aminoglikosida)

Penyesuaian dosis pada CrCl <30 ml/menit

Ototoksisitas: gangguan pendengaran

K, Cm

Penurunan dosis atau penggantian obat (rujukan ke THT)

Toksisitas vestibular

K, Cm

Penurunan dosis atau penggantian obat (rujukan ke THT), pemberian anti-vertigo

Kejang

Z, Fq/ Fluoroquinolon (Moxifloxacin, Levofloxacin)

Antikonvulsan

Atralgia

Z, Fq

Antiinflamasi

Artritis, gout

Z

Antiinflamasi, antihiperurisemia

Tenditis

Fq

Penggantian obat bila perlu

Hepatoksisitas: peningkatan ALT 2 kali normal atau lebih

Hampir semua obat, terutama Z

Terapi individual

 

1.        World Health Organization. Global Tuberculosis Report [Internet]. Geneva; 2021. Available from: https://www.who.int/publications/i/item/9789240037021

2.        Choreño Parra JA, Martínez Zúñiga N, Jiménez Zamudio LA, Jiménez Álvarez LA, Salinas Lara C, Zúñiga J. Memory of natural killer cells: A new chance against Mycobacterium tuberculosis? Front Immunol. 2017;8(AUG):1–12.

3.        Ehlers S, Schaible UE. The granuloma in tuberculosis: Dynamics of a host-pathogen collusion. Front Immunol. 2012;3(JAN):1–9.

4.        Guirado E, Schlesinger LS. Modeling the Mycobacterium tuberculosis granuloma - the critical battlefield in host immunity and disease. Front Immunol. 2013;4(APR).

5.        Adigun R, Singh R. Tuberculosis - StatPearls - NCBI Bookshelf [Internet]. 2022. p. 1–7. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/

6.        Lawn SD, Zumla AI. Tuberculosis. Lancet. 2011;378(9785):57–72.

7.        Khan FY. Review of literature on disseminated tuberculosis with emphasis on the focused diagnostic workup. J Fam Community Med. 2019;26(2):83–91.

8.        World Health Organization. WHO consolidated guidelines on tuberculosis. Module 4: treatment - drug-resistant tuberculosis treatment. Online annexes. WHO report. Geneva. 2020.

9.        da Silva PEA, Palomino JC. Molecular basis and mechanisms of drug resistance in Mycobacterium tuberculosis: Classical and new drugs. J Antimicrob Chemother. 2011;66(7):1417–30.

10.      Chiang CCRMG. Chiang 2010 - Drug‐resistant tuberculosis Past present future.pdf. Respirology. 2010;15:413–32.

11.      World Health Organization. Guidelines for treatment of drug-susceptible tuberculosis and patient care. Geneva: WHO; 2017.

12.      Fang XH, Shen HH, Hu WQ, Xu QQ, Jun L, Zhang ZP, et al. Prevalence of and factors influencing anti-tuberculosis treatment non-adherence among patients with pulmonary tuberculosis: A cross-sectional study in Anhui Province, Eastern China. Med Sci Monit. 2019;25:1928–35.

13.      Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2020.

14.      Schnippel K, Firnhaber C, Berhanu R, Page-Shipp L, Sinanovic E. Adverse drug reactions during drug-resistant TB treatment in high HIV prevalence settings: A systematic review and meta-analysis. J Antimicrob Chemother. 2017;72(7):1871–9.

15.      Chhabra N, Aseri ML, Dixit R, Gaur S. Pharmacotherapy for multidrug resistant tuberculosis. J Pharmacol Pharmacother. 2012;3(2):98–104.

16.      Prasad R, Singh A, Gupta N. Adverse drug reactions in tuberculosis and management. Indian J Tuberc [Internet]. 2019;66(4):520–32. Available from: https://doi.org/10.1016/j.ijtb.2019.11.005

17.      Isaakidis P, Varghese B, Mansoor H, Cox HS, Ladomirska J, Saranchuk P, et al. Adverse events among HIV/MDR-TB co-infected patients receiving antiretroviral and second line anti-TB treatment in Mumbai, India. PLoS One. 2012;7(7).17. 


Komentar

Belum ada komentar