Tuberkulosis (TB)
A. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit diakibatkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) yang merupakan Basil
Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis
umumnya menyerang paru-paru namun dapat menyerang bagian tubuh yang lain,
seperti kelenjar, otak, dan tulang. Tuberkulosis termasuk satu dari 10 penyakit
penyebab kematian tertinggi di negara dengan pendapatan menengah dan rendah.
Pada tahun 2020, diperkirakan terdapat 9,9 juta orang di dunia yang terinfeksi
TB dengan angka kematian sebesar 1,3 juta jiwa atau 13,13%. Sementara itu, di
Indonesia angka kejadian TB adalah sebesar 824.000 kasus, atau sebanyak 8,3%
dari total kasus di dunia dengan angka kematian 93.000 jiwa atau 11,29%. Angka
tersebut membawa Indonesia menjadi posisi ketiga negara dengan prevalensi TB
tertinggi di dunia setelah India dan Cina 1.
B. Patofisiologi dan
Manifestasi Klinis
Bakteri M. tuberculosis diransmisikan melalui udara dan masuk ke tubuh secara inhalasi. Respon tubuh atas paparan dipengaruhi oleh faktor imunitas, genetik, dan paparan primer atau sekunder. Ketika berhasil masuk ke alveoli, sel yang pertama merespon bakteri M. tuberculosis adalah makrofag alveolar. Ketika makrofag tidak berhasil melakukan fagositosis, terjadi respon sel imun yang meningkatkan produksi senyawa yang bersifat chemoattractants (menyebabkan perpindahan senyawa atau sel berdasarkan perbedaan gradien konsentrasi) yaitu kemokin. Kemokin yang menarik beberapa sel dan mediator pro-inflamasi yaitu neutrofil, sel NK (natural killer), TNF-α, IL-8, IL-6, IL-4, IFN-γ, yang selanjutnya menimbulkan respon inflamasi dan remodeling jaringan sehingga terbentuk granuloma 2. Apabila sel imun cukup adekuat, maka kuman akan mati. Namun, apabila sel imun lemah maka sebagian bakteri hidup dalam granuloma sebagai infeksi tuberkulosis laten 3. Granuloma adalah jaringan yang mengalami nekrosis yang dikelilingi oleh sel-sel imun dan berbentuk bergerombol, sebagai ciri khas dari infeksi tuberkulosis. Pembentukan granuloma pada tuberkulosis merupakan contoh reaksi hipersensitivitas tipe IV, dimana terjadi reaksi lambat yang dimediasi oleh sel imun 4,5.
Gambar 1 Granuloma 4
Pada kebanyakan individu, paparan pertama hanya menimbulkan infeksi
bakteri laten dan tidak menimbulkan gejala yang berarti. Namun infeksi laten
dapat aktif kembali ketika sistem imun tubuh melemah. Pada individu tertentu,
misalnya anak-anak, individu dengan status gizi buruk, kondisi imnokompromais,
atau imunosupresi, paparan pertama lebih berisiko menimbulkan infeksi yang
progresif 5. Gejala yang umum terjadi pada pasien TB paru meliputi batuk
selama setidaknya 2 minggu, produksi sputum, penurunan nafsu makan, penurunan
berat badan, demam, berkeringat pada malam hari, dan haemoptisis (batuk
berdarah) 6.
Infeksi tuberkulosis dapat menyebar secara sistemik melalui pembuluh
darah atau disebut dengan tuberkulosis diseminata atau tuberkulosis milier yang
menyerang organ esktraparu, seperti sistem saraf pusat, tulang, kelenjar limpa,
ginjal, dan liver 7.
C. Tuberkulosis Resistan Obat
(TB RO)
Ancaman TB semakin serius dengan adanya strain M. tuberculosis yang kebal atau resistan terhadap obat. Resistansi
obat pada tuberkulosis dapat dikategorikan menjadi 8:
a) Monoresistan: resistansi
terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b) Poliresistan: resistansi
terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan
c) Tuberkulosis Resistan
Rifampisin (TB RR), terbukti resistan terhadap rifampisin dengan atau tanpa resistansi
OAT lain yang terdeteksi
d) Tuberkulosis Resistan Obat
Ganda (TB ROG) atau Multi-drug resistant
tuberculosis (MDR TB), yaitu bakteri kebal terhadap rifampisin dan isoniazid,
yang merupakan obat lini pertama paling efektif terhadap infeksi TB.
e) Pre-extensively Drug Resistant Tuberculosis (Pre-XDR TB), yaitu
bakteri kebal terhadap rifampisin dan isoniazid, dan salah satu obat
antituberkulosis golongan fluoroquinolon
f) Extensively Drug Resistant Tuberculosis (XDR TB), yaitu bakteri
kebal terhadap rifampisin dan isoniazid, salah satu obat antituberkulosis
golongan fluoroquinolone, dan satu dari tiga obat antituberkulosis injeksi
(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
Resistansi bakteri terhadap obat diakibatkan oleh mutasi genetik.
Beberapa gen berperan dalam resistansi obat antituberkulosis. Gen yang berperan
dalam resistansi Isoniazid adalah inh A dan kat G. Sedangkan dalam mutasi
rifampisin, gen yang berperan adalah rpo B. Gen rrs, rpsL, dan gydB menyebabkan
bacillus resistan terhadap streptomisin. Sedangkan resistansi pada kanamisin
dan amikasin gen yang berperan adalah rrs dan eis. Kemudian rrs dan tylA
berperan dalam resistansi kapreomisin, PncA pada resistansi pirazinamid, dan
igyrA berpertan dalam resistansi fluoroquinolone 9. Kasus TB ROG pertama kali dilaporkan pada tahun 1990.
Hingga saat ini TB ROG masih menjadi perhatian besar bagi kesehatan dunia 10.
D. Farmakoterapi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terbagi atas obat lini pertama dan lini
kedua. Obat lini pertama merupakan pilihan utama obat TB yang umumnya digunakan
pada pasien TB sensitif obat. Sedangkan, pada pasien dengan resistan obat,
regimen tidak hanya terdiri terdiri atas OAT lini pertama namun juga disertai
dengan OAT lini kedua 11. Kepatuhan pasien
dalam menjalani pengobatan TB sangat penting untuk mencegah penularan penyakit,
mencapai kesembuhan dan menghindari perparahan resistansi obat, kekambuhan, dan
kematian. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan TB adalah hambatan besar yang
signifikan dalam pengendalian TB secara global dan merupakan faktor utama yang
menyebabkan kegagalan pengobatan 12.
a) Tuberkulosis sensitif obat
Regimen yang direkomendasikan pada terapi TB sensitif obat adalah
2HRZE/4HR, yaitu terdiri dari11:
-
2 bulan fase intensif, bertujuan untuk membunuh
sebagian besar bakteri aktif. Fase ini berperan penting dalam keberhasilan
terapi serta pencegahan resistansi. Obat-obat fase intensif terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol yang digunakan setiap hari.
-
4 bulan fase lanjutan, bertujuan untuk mencegah
aktivasi bakteri yang belum terbunuh pada fase intensif sehingga mencegah
kambuhan. Obat-obat fase lanjutan terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang digunakan setiap hari. Penggunaan
obat tiga kali seminggu (regimen regimen R3H3) sudah tidak direkomendasikan
oleh WHO, namun jika diterapkan harus disertai pengawasan ketat.
Di akhir fase intensif, bila hasil tes sputum masih positif pengobatan
sementara tetap dilanjutkan ke fase lanjutan dan dilakukan Tes Cepat Molekular
(TCM), biakan, dan uji kepekaan untuk mengetahui adanya resistansi obat,
sementara fase sisipan tidak lagi direkomendasikan. Bila hasil positif pada
akhir bulan kelima dan akhir pengobatan, maka pengobatan dinyatakan gagal.
Berikut adalah rekomendasi dosis OAT lini pertama untuk dewasa menurut
PNPK Tata Laksana Tuberkulosis 2020 13:
Tabel 1 Dosis OAT lini pertama
Obat |
Dosis harian |
Dosis tiga kali seminggu |
||
Dosis (mg/kgBB) |
Maks (mg) |
Dosis (mg/kgBB) |
Maks (mg) |
|
Isoniazid |
5 (4-6) |
300 |
10 (8-12) |
900 |
Rifampisin |
10 (8-12) |
600 |
10 (8-12) |
600 |
Pirazinamid |
25 (20-30) |
|
35 (30-40) |
|
Etambutol |
15 (15-20) |
|
30 (25-35) |
|
b) Tuberkulosis Resistan Obat
Durasi
penggunaan OAT pada kasus TB RR/ROG terbagi menjadi dua, yaitu regimen jangka
pendek atau short term regimen (STR)
dan regimen jangka panjang atau long term
regimen (LTR) 8.
Short Term
Regimen (STR) atau regimen jangka
pendek
Terapi STR atau regimen pengobatan jangka pendek dijalankan selama 9-12
bulan untuk pasien TB RR dan TB ROG dengan kriteria tertentu. WHO
merekomendasikan penggunaan regimen berbasis bedaquilin sementara regimen
jangka pendek dengan obat injeksi (kanamisin) sudah tidak lagi direkomendasikan
karena alasan potensi efek samping, diantaranya ototoksisitas, serta alasan
kenyamanan bagi pasien. Obat yang digunakan dalam STR tercantum dalam tabel
berikut 8:
Tabel 2 Regimen
antituberkulosis terapi jangka pendek 8
Fase |
Obat
yang Digunakan |
Fase Intensif (4-6 bulan)* |
6 bulan Bedaquilin (Bdq) |
Moksifloksasin (Mfx)/ Levofloxacin (Lfx) |
|
Klofazimin
(Cfz) |
|
Etionamid
(Eto) |
|
Pirazinamid (Z) |
|
Etambutol (E) |
|
Isoniazid dosis tinggi (Hh) |
|
Fase Lanjutan (5 bulan) |
Moksifloksasin (Mfx)/ Levofloxacin (Lfx) |
Klofazimin
(Cfz) |
|
Pirazinamid (Z) |
|
Etambutol (E) |
*Fase intensif dilanjutkan
hingga 6 bulan jika belum terjadi konversi BTA pada bulan ke-4
Regimen jangka pendek dapat diterapkan pada pasien TB-RR dan TB-ROG
apabila dipastikan tidak mengalami kondisi berikut 8:
·
Resistansi yang dikonfirmasikan atau diduga tidak efektif
obat dalam rejimen TB-MDR yang lebih pendek (kecuali resistansi isoniazid)
·
Pajanan satu atau lebih obat lini kedua dalam rejimen TB-MDR
yang lebih pendek untuk> 1 bulan (kecuali kerentanan terhadap obat-obatan
lini kedua ini dikonfirmasi)
·
Intoleransi terhadap obat-obatan dalam rejimen TB-MDR yang
lebih pendek atau risiko toksisitas (mis. Interaksi obat-obat)
·
Kehamilan
·
Diseminasi, meningeal atau TB sistem saraf pusat
·
Setiap penyakit luar paru pada orang dengan HIV/AIDS
·
Satu atau lebih obat dalam rejimen TB-MDR yang lebih pendek
tidak tersedia
Dosis obat regimen STR berdasarkan dapat dilihat pada tabel berikut 13:
Tabel 3 Dosis OAT regimen jangka pendek'
Nama Obat |
Dosis berdasarkan kelompok berat badan |
|||
< 33 kg |
33-50 kg |
>50-70 kg |
>70 kg |
|
Moxifloxacin |
400 mg |
400 mg |
400 mg |
400 mg |
Moxifloxacin |
50 mg |
100 mg |
100 mg |
100 mg |
Etambutol |
600 mg |
800 mg |
1000 mg |
1200 mg |
Pirazinamid |
750 mg |
1500 mg |
2000 mg |
2000 mg |
Isoniazid |
300 mg |
450 mg / 600 mg |
600 mg |
600 mg |
Etionamid |
500 mg |
500 mg |
750 mg |
1000 mg |
Etionamid |
500 mg |
500 mg |
750 mg |
1000 mg |
Long Term
Regimen (LTR) atau Regimen Individual
Pasien TB RO yang tidak memenuhi kriteria untuk pengobatan dengan paduan
jangka pendek akan mendapatkan paduan pengobatan individual. Paduan individual diberikan
untuk pasien 13:
·
TB pre-XDR
·
TB XDR
·
MDR dengan intoleransi terhadap salah satu atau lebih obat lini
kedua yang digunakan pada paduan jangka pendek
·
Gagal pengobatan jangka pendek
·
Kembali setelah putus berobat
·
TB MDR kambuh
Berikut adalah rekomendasi WHO untuk pengelompokkandan regimen terapi
antituberkulosis jangka panjang8:
Tabel 4
Pengelompokkan obat antituberkulosis lini kedua untuk regimen terapi jangka
panjang 8
Grup |
Rekomendasi |
Jenis Obat |
A |
Ketiga obat dimasukkan dalam regimen |
·
Levofloksasin
(Lfx) atau Moksifloksasin (Mfx) ·
Bedaquilin
(Bdq) ·
Linezolid
(Lzd) |
B |
Salah satu atau kedua obat dimasukkan dalam regimen |
·
Klofazimin
(Cfz) ·
Sikloserin (Cs)
atau Terizidon (Trd) |
C |
Ditambahkan untuk melengkapi regimen apabila obat
dalam golongan A dan B tidak dapat digunakan |
·
Etambutol (E) ·
Delamanid
(Dlm) ·
Pirazinamid
(Z) ·
Imipenem-cilastatin
(Ipm-Cln) or Meropenem (Mpm) ·
Amikasin (Am)
atau Streptomisin (S) ·
Etionamid
(Eto) or Prothionamid (Pto) ·
P-aminosalicylic acid (PAS) |
Keterangan:
·
Kanamisin dan kapreomisin tidak termasuk dalam pengobatan
pasien TB-ROG dengan LTR (rekomendasi kondisional).
·
Levofloksasin atau moksifloksasin harus dimasukkan dalam
pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR (rekomendasi kuat, kepastian moderat dalam
perkiraan efek).
·
Bedaquilin harus dimasukkan dalam rejimen TB ROG dengan LTR
untuk pasien berusia 18 tahun atau lebih (rekomendasi kuat). Bedaquiline juga
dapat digunakan pada pasien berusia 16-17 tahun (rekomendasi kondisional)
·
Linezolid harus dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG
dengan LTR
·
Klofazimine dan Sikloserin atau terizidon dapat dimasukkan
dalam pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR.
·
Etambutol dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG
dengan LTR.
·
Delamanid dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG
berusia 3 tahun atau lebih dengan LTR.
·
Pirazinamid dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG
dengan LTR.
·
Imipenem-cilastatin atau meropenem dapat dimasukkan dalam
pengobatan pasien TB-ROG dengan LTR.
·
Amikasin dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien TB-ROG
berusia 18 tahun atau lebih dengan LTR apabila sensitifitas telah dibuktikan
dan dengan penilaian dan pemantauan risiko obat tidak diinginkan. Jika amikasin
tidak tersedia, streptomisin dapat menggantikan amikasin dalam kondisi yang
sama.
Pada pasien TB-ROG dengan LTR, total durasi pengobatan untuk sebagian besar pasien adalah 18-20 bulan. Durasi pengobatan setelah konversi kultur yang disarankan adalah 15-17 bulan. Durasi dapat dimodifikasi sesuai dengan respon pasien. Pada rejimen terapi dengan amikasin atau streptomisin, fase intensif terapi 6-7 bulan direkomendasikan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan respon pasien 8.
E. Efek Samping Terapi Obat
Anti Tuberkulosis
Pemberian Obat Anti Tuberkulosis berisiko menimbulkan efek samping karena
toksisitas yang dimilikinya. Penggunaan obat secara kombinasi berisiko
menimbulkan variasi efek samping. Efek samping adalah reaksi yang berbahaya
atau tidak menyenangkan, yang dihasilkan dari intervensi terkait dengan
penggunaan produk obat. Efek samping yang timbul pada penggunaan OAT sangat
bervariasi, dimulai dari efek minor (ringan dan menengah), hingga parah (parah,
mengancam jiwa, dan fatal) 14. Berikut adalah contoh efek samping beserta obat yang
menimbulkannya 14–17:
Tabel 5 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis
Efek Samping |
Obat yang Berpotensi |
Manajemen |
Gangguan
gastrointestinal: mual, muntah, diare |
PAS, P, E,
Eto, |
Penggunaan
antiemesis, antitukak, antidiare, pemberian PAS bersama jus buah, air kelapa. |
Neuropati
perifer |
INH (terutama
dosis tinggi), Cs, E, Eto |
Penggunaan
piridoksin (50 mg setiap 250 mg Eto/Cs). Bila parah, dapat digunakan
amitriptilin, gabapentin |
Hipotiroid:
serum TSH > 10 mIU/L |
Eto, PAS |
Levotiroksin |
Gangguan
psikiatri: depresi, kecemasan |
Cs |
Piridoksin 50
mg setiap 250 mg Cs, disertai konsultasi psikiater dan psikolog |
Hipokalemia:
K < 3.0 mmol/L |
Cm, K, S |
Suplemen
Kalium, perawatan di RS apabila terjadi gejala |
Gangguan
ginjal: CrCl < 60 ml/menit |
K, Cm, S
(obat injeksi golongan aminoglikosida) |
Penyesuaian
dosis pada CrCl <30 ml/menit |
Ototoksisitas:
gangguan pendengaran |
K, Cm |
Penurunan
dosis atau penggantian obat (rujukan ke THT) |
Toksisitas
vestibular |
K, Cm |
Penurunan
dosis atau penggantian obat (rujukan ke THT), pemberian anti-vertigo |
Kejang |
Z, Fq/
Fluoroquinolon (Moxifloxacin, Levofloxacin) |
Antikonvulsan
|
Atralgia |
Z, Fq |
Antiinflamasi |
Artritis,
gout |
Z |
Antiinflamasi,
antihiperurisemia |
Tenditis |
Fq |
Penggantian
obat bila perlu |
Hepatoksisitas:
peningkatan ALT 2 kali normal atau lebih |
Hampir semua
obat, terutama Z |
Terapi individual |
1.
World Health Organization. Global
Tuberculosis Report [Internet]. Geneva; 2021. Available from:
https://www.who.int/publications/i/item/9789240037021
2.
Choreño Parra JA, Martínez Zúñiga
N, Jiménez Zamudio LA, Jiménez Álvarez LA, Salinas Lara C, Zúñiga J. Memory of
natural killer cells: A new chance against Mycobacterium tuberculosis? Front
Immunol. 2017;8(AUG):1–12.
3.
Ehlers S, Schaible UE. The
granuloma in tuberculosis: Dynamics of a host-pathogen collusion. Front
Immunol. 2012;3(JAN):1–9.
4.
Guirado E, Schlesinger LS. Modeling
the Mycobacterium tuberculosis granuloma - the critical battlefield in host
immunity and disease. Front Immunol. 2013;4(APR).
5.
Adigun R, Singh R. Tuberculosis -
StatPearls - NCBI Bookshelf [Internet]. 2022. p. 1–7. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/
6.
Lawn SD, Zumla AI. Tuberculosis.
Lancet. 2011;378(9785):57–72.
7.
Khan FY. Review of literature on
disseminated tuberculosis with emphasis on the focused diagnostic workup. J Fam
Community Med. 2019;26(2):83–91.
8.
World Health Organization. WHO
consolidated guidelines on tuberculosis. Module 4: treatment - drug-resistant
tuberculosis treatment. Online annexes. WHO report. Geneva. 2020.
9.
da Silva PEA, Palomino JC.
Molecular basis and mechanisms of drug resistance in Mycobacterium
tuberculosis: Classical and new drugs. J Antimicrob Chemother.
2011;66(7):1417–30.
10.
Chiang CCRMG. Chiang 2010 -
Drug‐resistant tuberculosis Past present future.pdf. Respirology.
2010;15:413–32.
11.
World Health Organization. Guidelines
for treatment of drug-susceptible tuberculosis and patient care. Geneva: WHO;
2017.
12.
Fang XH, Shen HH, Hu WQ, Xu QQ, Jun
L, Zhang ZP, et al. Prevalence of and factors influencing anti-tuberculosis
treatment non-adherence among patients with pulmonary tuberculosis: A
cross-sectional study in Anhui Province, Eastern China. Med Sci Monit. 2019;25:1928–35.
13.
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2020.
14.
Schnippel K, Firnhaber C, Berhanu R,
Page-Shipp L, Sinanovic E. Adverse drug reactions during drug-resistant TB
treatment in high HIV prevalence settings: A systematic review and
meta-analysis. J Antimicrob Chemother. 2017;72(7):1871–9.
15.
Chhabra N, Aseri ML, Dixit R, Gaur S.
Pharmacotherapy for multidrug resistant tuberculosis. J Pharmacol Pharmacother.
2012;3(2):98–104.
16. Prasad R, Singh A, Gupta N. Adverse drug reactions in tuberculosis and management. Indian J Tuberc [Internet]. 2019;66(4):520–32. Available from: https://doi.org/10.1016/j.ijtb.2019.11.005
17. Isaakidis P, Varghese B, Mansoor H, Cox HS, Ladomirska J, Saranchuk P, et al. Adverse events among HIV/MDR-TB co-infected patients receiving antiretroviral and second line anti-TB treatment in Mumbai, India. PLoS One. 2012;7(7).17.
ARTIKEL POPULER
-
Manfaat Minyak Jarak (Castor Oil) untuk Kulit, Rambut, dan Lainnya
20 Feb 2024 16:28
-
Cara Menurunkan Berat Badan Berbasis Ilmiah
21 Mar 2023 18:25
-
Apa itu Peptida? Apa Saja Manfaat Peptida untuk Tubuh?
20 Feb 2024 16:28
-
Mengenal Antibodi Monoklonal sebagai Targeted Therapy
5 Sep 2023 11:55
Komentar
Belum ada komentar